Sama Seperti Arjuna, Siapapun Tak Akan Berpikir Bahwa Masjid Akan Menjadi Tempat yang Mengancam Nyawa

0
Tertidur Didalam masjid (Ilustrasi oleh Dika)


Tidak ada satu pun orang yang akan berpikir bahwa masjid bisa menjadi tempat yang mengancam nyawa.


Bagi banyak orang, bahkan dari kalangan non muslim sekalipun tahu bahwa Masjid adalah ruang paling aman. Tempat orang beribadah, menenangkan diri, menundukkan kepala, dan merasa dekat dengan sesuatu yang suci.


Tapi bagi Arjuna Tamaraya, masjid justru menjadi tempat terakhirnya bernafas.


Arjuna datang ke Masjid Agung Sibolga hanya untuk beristirahat. Ia baru pulang melaut, tubuhnya lelah, pikirannya mungkin juga kosong. Tak ada niat jahat, tak ada maksud buruk. Ia hanya mencari tempat yang aman untuk merebahkan diri.


Bukankah itu hal paling manusiawi yang bisa dilakukan seorang musyafir yang kelelahan?


Rupanya ada orang-orang yang merasa perlu mengatur siapa yang boleh beristirahat di rumah Tuhan. Arjuna sempat dilarang tidur di masjid.


Arjuna memilih tetap di sana, karena barangkali pikirnya, di tempat sebaik itu, siapa yang akan mengusir orang istirahat. Masjid bukan hotel, tapi juga bukan ruang eksklusif bagi mereka yang merasa lebih suci.


Tidak satupun manusia di muka bumi ini yang akan berpikir bahwa masjid bisa menjadi tempat berbahaya. Arjuna pun tidak. Ia bukan keras kepala. Ia hanya yakin bahwa masjid adalah tempat terbaik untuknya saat itu.


Tempat di mana manusia boleh melepas penat tanpa harus ditanya dari mana asalnya atau seberapa saleh hidupnya.


Namun keyakinan Arjuna dibalas dengan kebrutalan yang tidak pernah bisa masuk di akal. Ia dianiaya hingga meninggal dunia oleh orang-orang yang merasa sedang menjaga kesucian masjid.


Ironinya, mereka mungkin mengira sedang melakukan hal benar, menjaga kesucian sekalipun dengan cara paling biadab.


Arjuna tidak merusak masjid. Ia tidak mengotori, tidak berbuat sesuatu yang melanggar norma. Ia hanya istirahat, tidur sesederhana itu.


Sementara mereka yang memukul dan menendangnya, justru mengotori rumah ibadah itu sendiri dengan kebengisan. Mereka menumpahkan darah di tempat di mana orang biasanya menumpahkan air mata saat berdoa.


Tidak ada alasan sekecil apa pun yang bisa membenarkan tindakan itu. Tidak ada dalih moral, sosial, atau agama yang bisa menutup-nutupi kekejaman.


Bahkan dari sudut pandang penjahat sekalipun, masjid bukanlah tempat untuk membunuh. Tapi ternyata, di dunia yang modern ini, batas antara benar dan salah kabur oleh kesombongan rohani.


Mereka yang memukul mungkin merasa sedang membela Tuhan. Padahal Tuhan tidak pernah meminta dibela dengan cara sekeji itu.


Tuhan tidak butuh manusia untuk menjaga nama-Nya dengan tangan yang berlumur darah kebencian.


Jika iman bisa menjelma menjadi alasan untuk menyakiti, barangkali yang rusak bukan keyakinan, tapi rasa kemanusiaan itu sendiri.


Tragedi ini memilukan sekaligus menyoal seberapa dalam empati manusia sudah hilang. Di tempat yang seharusnya meneduhkan, kini ada rasa takut baru. Bukan lagi hanya kepada dosa, tapi juga takut pada mereka yang merasa paling benar. 


Kematian Arjuna bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah cermin buram dari wajah kita hari ini. Di mana kekerasan bisa terjadi di ruang ibadah, dan manusia begitu mudah kehilangan akal sehat hanya karena merasa berhak mengatur siapa yang pantas ada di dalam rumah Tuhan.


Mungkin Arjuna hanya ingin tidur sebentar. Tapi ia malah dibangunkan dengan pukulan. Dan setelah itu, ia tidak pernah bangun lagi.


Sementara kita yang membaca kisahnya, entah sudah benar-benar terbangun, atau masih terus tidur di dalam keyakinan yang palsu.


Masjid seharusnya menjadi tempat manusia pulang. Tempat menenangkan diri dari hiruk pikuk dunia. Tapi kalau di masjid pun nyawa bisa melayang, lalu di mana lagi manusia bisa merasa aman.


Arjuna sudah tiada. Dan kita, sepertinya, sudah kehilangan lebih dari sekadar satu nyawa. Kita kehilangan rasa kemanusiaan itu sendiri.

Dika.


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)